Oleh : Fikar Rizky Mohammad
Pada wawancara dengan "The Script" yang diwakili Mark, gitaris band itu di acara "The Script, Science And Faith" tur di Singapore 12 April 2011 lalu, bersama MTV Asia, Rolling Stone, dan Media Corp Singapore, penulis mengajukan beberapa pertanyaan.
Dari sekian banyak jadwal tur album mereka "Science And Faith" 2011, terutama di Asia, mengapa mereka memilih Singapura, Hongkong, dan Manila, bukan Jakarta-Indonesia?
Mark balas standar, mereka punya tim untuk melihat dimana ada permintaan terhadap show mereka, dan Indonesia terlihat kurang menarik.
Penulis bilang, bagaimana kalau saya sampaikan sebuah fakta, bahwa 70 persen audiens Anda hari ini berasal dari Jakarta?
Dia kaget, gerak tubuhnya menunjukan kekagetannya bukan basa- basi. Duduknya mundur: "Apakah itu benar"? "Ya!," balas saya. "Oke, saya akan sampaikan ke tim kami, dan kami berharap akhir tahun ini kami bisa atur pergi show ke sana (Indonesia)," katanya seperti minta dipercaya.
Interview pun selesai. Di account resmi twitter The Script, mereka sampaikan bahwa dalam Tur Asia, audiens di Singapuralah yang paling berkesan.
Waktu itu saya berfikir, rasanya tidak mungkin mereka bisa kembali di tahun yang sama ke Asia – Indonesia - setelah meninggalkan Asia (Singapura) di bulan April untuk melanjutkan tur di Eropa kemudian berakhir tahun di Amerika. Namun, saya tetap menaruh harapan.
Kembali ke Timur Jauh
Sabtu (12/11) lalu, The Script menepati janji. Apakah alasannya sebuah kebetulan - setidaknya ada peluang lebih besar dari nol persen atas rasa penasarannya pada Indonesia - atau kehebatan kaliber acara "Guinness Arthur's Day". Hari itu, Mark menjawab, keduanya kepada kami, para wartawan di konferensi pers, delapan jam sebelum konser "This is Arthur's call". Penasaran pada audiens Indonesia jugalah tampaknya yang membuat mereka mau kembali lagi ke far east (timur jauh). Tanggal 3 November The Script berada di Manchester-UK, dan mereka sebenarnya dijadwalkan menuju Dubai, dan Tampa-Florida, Amerika Serikat, 11 Desember mendatang.
Percakapan dengan Mark bukanlah yang pertama. Sebelumnya kami bertemu di Dublin, Irlandia pada "Oxegen Festival" tahun 2009. Saat itu The Script masih sebuah band yang main jam dua siang di sebuah festival besar dimana "COLDPLAY" main di malam hari sebagai puncak. Sebagai band "jam dua siang", waktu itu akses untuk berbicara kepada mereka sangat mudah. Di sanalah saya menyatakan jatuh cinta dengan The Script, dan akan concern terhadap karier mereka ke depan.
The Script tampil di Ballroom Pullman Hotel, Jakarta, Sabtu (12/12) pukul 22.00 WIB. Mereka jadi bintang utama dalam perayaan acara amal tahunan yang juga dilakukan di lebih dari 150 negara : "Guinness Arthur's Day 2011".
Konser itu menyajikan "jawaban". Bukan pembuktian. Bukan pertunjukan pameran, apalagi menawarkan kemegahan. The Script main sederhana, tapi memberikan jawaban yang terbaik, luas dan tajam bagi fansnya di Jakarta. Atas pertanyaan apa? Atas pertanyaan : apakah The Script akan lebih menginspirasi dan menghibur seperti penampilan lewat radio, CD, atau Ipod jika mereka bermain live?
Delapan dari sepuluh yang dimintai pendapatnya menyatakan, itu salah satu konser terbaik di Jakarta. Witsqa, seorang remaja (15) yang lolos dari aturan main umur konser tersebut (21 tahun) mengatakan, itu konser terkeren dan even terapih yang pernah ia hadiri.
Witsqa adalah salah satu responden yang pendapatnya layak didengar. Dalam satu tahun ia menonton lebih dari sepuluh konser. Umurnya yang baru 15 tahun setidaknya menunjukkan ia fans yang serius. Pendapat Witsqa atas penilaiannya dalam membandingkan satu konser dengan konser lain, bisa dipercaya.
Mevira (22 tahun) seorang event organizer konser musik yang menjadi penonton pada malam itu, memberi nilai delapan. Ia mengatakan, penampilan The Script adalah salah satu konser terbaik di Jakarta selama ini.
"Paduan Suara"
You Won't Feel a Thing adalah lagu yang membuka malam luar biasa itu. Sebuah lagu dengan intro panjang dengan fade in dari volume rendah dan layer (lapisan) musik yang tipis ke volume loud/besar dan tebal, menjadi kode untuk memanggil semua penonton di luar ballroom yang sedang rehat, berbincang, makan, merokok untuk segera masuk. Intro yang terencana, dan kata dalam lirik lagu tersebut dinyanyikan pas setelah Ballroom menjadi full-house. Hampir tidak ada yang terlambat. Lima ribu dengan ekspektasi dan excitement yang tinggi telah mulai ber-humming. Berkat manajemen konser yang baik, mereka terlihat rileks, tanpa tensi yang tinggi walau padat dan penuhnya konser ini. "Selamat malam, Indonesia! Apa kabar?," sapa O'Donoghue dengan bahasa Indonesia, terbata-bata dari atas panggung.
Di kiri kanan panggung, ada layar besar seperti konser lain di Jakarta atau standar di manapun. Tapi adanya lirik lagu layaknya karaoke membuat gema satu persatu fans yang hadir seakan menjadi paduan suara sepanjang konser. "Terimakasih. Semua orang di sini pasti memiliki album kami kan. aku ingin kalian menyanyi bersama kami," kata Danny.
Sebagian besar lagu The Script adalah lagu patah hati, perihnya luka dalam kehidupan dan cinta. Namun, poinnya bukan itu. Poinnya adalah menginspirasi siapapun yang mendengarnya untuk berjuang lagi walau nanti patah lagi hati. Mereka yang memberikan gambaran luka dalam lirik yang hebat bukan bertujuan membuat kita untuk nangis darah, tapi untuk terbang lebih tinggi, dengan ketahanan yang lebih kuat. Seperti lagu We Cry yang pertama kali dirilis The Script. Lagu itu ternyata bisa merefleksikan kisah pilu yang dialami Mark dan vokalisnya, Danny O'Donoghue. Ibunda Mark meninggal setelah sepuluh bulan sakit. Lalu empat bulan setelah kepergian ibunda Mark, Danny harus kehilangan ayahnya yang meninggal karena serangan jantung.
Bisa dibayangkan, yang datang pada hari itu adalah pendengar musik band alternatif, bukan band mainstream yang mengapresiasi keselarasan sempurna setiap lagu dengan lirik. Lagu-lagu The Script, dan sisanya sebagian besar adalah orang biasa, para kaum yang berpatah hati. Yang patah hati terbagi jadi dua bagian, yang patah hati serius, atau patah hati monyet (dibawah 21 Tahun) itulah sebabnya ribuan anak SMA sangat kecewa tidak dapat datang secara resmi ke konser ini.
Maka, konser "The Irish" yang
1. Datang dengan sebuah jawaban,
2. Memainkan lagu – lagu pilu dengan sound yang dasyat,
3 Setidaknya 7 Bulan lalu tidak ada rencana untuk injakan kakinya di Indonesia,
4. Berhadapan dengan audiens Indonesia yang responsive yang sebagian besar adalah kaum patah hati serius, yang juga merupakan fans lagu- lagu perih mereka,
5. Sepanjang konser, mereka sediakan lirik lagu di kedua sisi sebelah layar besar panggung,
6. Di handling dengan pihak yang menghandling paling hebat sebuah event sepanjang pengalaman saya hadir di konser di Jakarta,
7. Membawakan seluruh Hits Lagu dari Ke-dua Album Mereka, walau ini Tour Album "Science And Faith"
8. Digelar Di venue yang baru.
Patut di rating >8, dan juga dicatat salah satu Artis dan Event terbaik di Jakarta ataupun Indonesia.
Terima kasih Jakarta
The Script (Danny O'Donoghue, Mark Sheehan, Glenn Power) berulang kali menunjukkan antusiasnya kepada para penggemar di Indonesia dengan mengatakan terima kasih atas sambutannya yang meriah, dan diterima baik di Jakarta. "It is Amazing Jakarta"
Mulai dari lagu seperti "The End Where I Begin" yang tak dihafal atau dinyanyikan audiens di negara lain menurut mereka, sampai hits besar mereka seperti "Nothing, For The First Time, If You Ever Come Back, Breakeven, The Man Who Can't be Moved" semuanya dinyanyikan habis oleh yang mereka sebut "The famous-Indonesian Audience" (Fans Indonesia yang punya nama).
Sama halnya dengan Mark dan Glenn yang menyelaraskan musik The Script lewat permainan gitar dan drum dimana penampilan mereka sangat didukung oleh sound khas Irish yang dahsyat, tata panggung, dan tata cahaya yang baik mengatakan malam itu malam yang sangat berkesan. Setelah "Breakeven" Lagu yang levelnya kalau dibandingkan dengan U2 adalah "Vertigo"nya mereka, Mark mengambil foto dari atas panggung untuk segera memposting di akun twitternya. "@thescript, Mark memposting foto dengan twit yang berisi "Jakarta we had an amazing nite! One love, M"
"Terimakasih Jakarta, kami akan kembali secepatnya," janji Danny sebelum meninggalkan panggung untuk rehat 5 menit sebelum "For The First Time" Dijadikan lagu penutup.
Malam itu, The Script Puaskan Jakarta, Jakarta mengesankan The Script. Malam itu, perlu dicatat, Guinness Arthur's Day mendatangkan salah satu artis terbaik yang pernah tampil di Indonesia.
Di Lobby Pullman ketika menuju media center, Danny sang vokalis menyapa saya ketika dia sedang menunggu lift, "Fikar! Kamu benar, Audiens kalian betul saingan audiens di rumah kami Dublin, mereka di sini tidak berhenti menjadi paduan suara, kami merasa terapresiasi sekali!"
"Kami telah melalui banyak hal setelah dua album ini. Kemungkinan di album selanjutnya akan lebih ceria, begitu album ketiga kami selesai kami pastikan Indonesia adalah prioritas! Sampai bertemu lagi Fikar, semoga kita bisa bertemu ke 4 kalinya tahun depan, more than nice to meet you," tambah Mark. What a Humble Irish!.
--
Source: http://id.omg.yahoo.com/news/script-datang-dengan-sebuah-jawaban-1-120734862.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com