Tampilkan postingan dengan label sosial. Tampilkan semua postingan
4 September 2013
Spesial.co – Terkadang sebuah foto harus diperhatikan dengan seksama. Tak cukup dilihat sekali, butuh dua kali atau bahkan harus beberapa kali. Tanpa edit gambar, foto-foto ini dapat menipumu di pandangan pertama.
Seperti apa foto yang dimaksud? Perhatikan baik-baik. Pastikan kamu tidak tertipu
1. ‘Tangan Nakal’
Ups, tentu saja tak bakal ada prajurit selancang itu. Sekilas memang tangan prajurit berseragam merah itu mengarah ke daerah terlarang Putri Kate Middleton.
Nah, setelah diperhatikan dengan seksama, barulah tampak jelas bahwa tangan itu merupakan milik Kate sendiri. Ke mana tangan si prajurit? Yup, dibungkus oleh kaos tangan putih!
2. Tangan Atau…
Ups, jangan berpikir yang tidak-tidak. Benar, itu hanya tangan kiri si gadis. Bukan bagian tubuh yang lain. Tak percaya? Lihat sekali lagi
3. ‘Tangan Panjang’
Pengambilan foto yang sangat tepat! Wanita berdiri, sebelah kiri tampak memiliki tangan sangat panjang hingga dapat menjangkau wanita berbaju putih yang merunduk.
Sekilas tampak seperti foto yang telah diedit, padahal ‘tangan panjang’ itu adalah milik wanita berambut hitam yang merunduk, nomor dua dari kiri.
4. ‘Pria Ngompol’
Akhir pesta kostum cosmic ini dipastikan bakal bertambah meriah saat para pesertanya melihat foto hasil dokumentasi. Celana pria berambut putih (Stanley Martin Lieber, tokoh komik Amerika) di atas sekilas terlihat basah. Seolah baru saja kencing di celana.
Tentu saja itu tidak benar-benar terjadi. Bayangan palu raksasa milik wanita di sebelah lah penyebabnya.
5. ‘Kepala Dempet’
Tidak! Kepala kedua gadis ini tidak dempet. Gadis berambut panjang adalah gadis yang berbeda. Tampaknya ia sengaja berpose demikian agar menampilkan efek ‘kepala dempet’. Warna rambut dan kulit yang senada sukses mendukung itu semua!
6. Leher Panjang Jerapah
Jerapah memang merupakan binatang dengan leher terpanjang. Tapi tentu saja tak sepanjang pada foto di atas. Ya benar, ada dua jerapah pada foto di atas.
7. Senjata Api
Tentu saja bakal menyeramkan apabila pria di televisi pada foto di atas benar-benar memegang senjata api. Untungnya senjata yang sekilas tampak digenggamnya hanya bagian dari display televisi di belakang mereka.
8. Kepala Ikan
Diving adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Jangan lupa mengabadikan momen ini. Tapi, lihat foto ini. Tampaknya ikan pada gambar di atas juga ingin menjadi tokoh utama.
9. ‘Bayi Berkaki Besar’
Tentu saja itu bukan kaki si bayi. Pemilik kaki adalah wanita dewasa sengaja bersembunyi di balik bantal untuk menampilkan gambar ‘tipuan’ ini. Perfect!
10. Pria Berkepala Kecil
Pada acara yang mirip dengan jumpa pers, seorang pria terlihat memiliki ukuran kepala yang tak wajar. Untungnya itu tidak benar-benar terjadi. Ya, pria itu merunduk dan mendapat ‘kepala cadangan’ dari seseorang di depannya.
sumber
3 September 2013
Edan, Gara-Gara Tak
Punya Pacar, Pria Ini Pacaran Dengan Dirinya Sendiri. Nggak masuk di
akal rasanya bagaimana berpacaran dengan dirinya sendiri. Apakah anda
mau meniru ? Jangan. Sekali lagi jangan.
Di zaman yang serba
modern ini, ada Banyak cara digunakan untuk mengungkapkan cinta, salah
satunya adalah memamerkan foto so sweet bersama kekasih tercinta. Lihat
saja foto pria ini, pacarnya pasti wanita yang perhatian. Coba anda
Lihat bagaimana dia disuapi kentang dan bekas saos itu dihapus dari
bibirnya. Apakah pacarnya so sweet seperti foto di bawah ini?
He he he
perkiraan Anda salah, karena semua foto pria ini diambil seorang diri.
Alias.. dia 'pacaran' dengan dirinya sendiri. Tangan yang sedang
menyuapkan makanan atau menyeka saus di mulut adalah tangannya sendiri.
Semua foto so sweet ini dilakukan sendiri. Bagaimana bisa? Tentu saja
bisa dengan sedikit trik.
Seperti telah
dilansir oleh Rocketnews24.com, pria ini menunjukkan bagaimana trik
beberapa pria yang tidak punya pacar bisa memamerkan 'pacar'nya. Tidak
perlu pacar sewaan atau yang seperti itu, cukup bermodal foundation,
pewarna kuku dan ikat rambut kain.
Bagaimana caranya ?
Caranya.. pakai foundation di salah satu tangan. Cara ini dilakukan
agar kulit tangan lebih putih dan tampak lebih halus seperti tangan
wanita. Lalu gunakan pewarna kuku agar lebih cute. Tidak lupa pakai ikat
rambut kain di pergelangan tangan, agar terlihat lebih 'cewek'.
Setelah itu datang
saja ke rumah makan yang menyediakan menu-menu seperti kentang goreng.
Dengan satu tangan memegang kamera, tangan yang satu lagi (tangan
'cewek') menyuapkan makanan ke mulut. Kemudian ambil pose yang cute,
seolah-olah sedang disuapi oleh pacar sungguhan. Tada.. jadilah
foto-foto so sweet ini..
Anda Hanya perlu
sedikit trik agar pria jomblo bisa pamer di sosial media bahwa dia punya
pacar. Seolah-olah sang pacar so sweet sampai menyuapkan makanan,
membuat pose lucu di wajah sang pria saat tidur atau seolah-olah iseng
menuliskan sesuatu di pipi sang pria.
Nah.. semua itu
bisa jadi hanya tipuan kamera dan tangan semata. Jadi jika ada pria
(atau wanita) yang pamer pacar hanya dari tangannya saja, Anda bisa
menduga-duga apakah trik ini dipakai atau tidak.
Semoga anda terhibur dengan informasi ini.
sumber:http://www.serunique.com/2013/08/edan-gara-gara-tak-punya-pacar-pria-ini.html
31 Agustus 2012
Dalam periode yang panjang, bentuk negara Pontianak adalah kesultanan
dengan sistem pemerintahan aristokrasi absolut Islam. Ini menegaskan
identitas bahwa Pontianak adalah negeri Islam. Sebab, pancang pertama
bangunan yang dialaskan di bandar negeri adalah tiang fondasi masjid.
Hari ini masjid itu bernama Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Itulah bangunan pertama di Pontianak. Letak masjid ini berdekatan dengan Istana Qadriyah, yang tak jauh dari simpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di sebelah utara negeri Pontianak, terdapat Tugu Khatulistiwa yang berada tepat di garis lintang nol derajat bumi, yang juga berdekatan dengan makam para wali dan atau sultan-sultan Pontianak.
Syarif Abdurrahman Al-Qadrie adalah anak dari seorang pendakwah asal negeri Trim di Hadramaut-Yaman Selatan yang bernama Habib Husein Al-Qadrie. Habib Husein Al-Qadrie dan ketiga kawannya menyebar dakwah Islam di Kepulauan Melayu. Konon, dia adalah keturunan dari ahlul bait, yaitu darah terdekat dari Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Hal tersebut dapat dilihat dari zuriyat (silsilah) yang terbukti, mulai dari pasangan Khalifah Ali bin Abu Thalib dan Fatimah (putri Nabi Muhammad) yang memiliki anak bernama Hasan dan Husein, dan kemudian turun ke Ali Zainal Abidin, anak dari Husein bin Ali bin Abu Thalib. Garis keturunan ini berlanjut hingga ke Habib Husein Al-Qadrie, Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, dan para keturunannya. Merekalah yang dikenal sebagai para wali.
Sejak Syarif Abdurrahman Al-Qadrie menemukan tanah khatulistiwa pada 1771 M, dia menjadikan tanah itu sebagai tempat pemukiman. Pada 1778 M, gelarnya sebagai Sultan ditabalkan di hadapan beberapa penguasa negeri di Kepulauan Melayu ini. Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau-Lingga, misalnya, pun turut hadir. Begitu juga pemimpin dari sejumlah kerajaan, termasuk Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, Banjar, dan lainnya.
Pada masa itu, negara Kerajaan Belanda, melalui Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Dagang Kerajaan Belanda untuk Hindia Timur, mencoba bekerjasama dengan kerajaan-kerajaan di Borneo Barat. Pada Juli 1779 M, perusahaan dagang itu mengirim Komisaris VOC, Willem Adriaan Palm, ke Pontianak untuk mendirikan perwakilan dagang dan bekerjasama dengan Kesultanan Pontianak dalam hal dagang, pemerintahan, modernisasi bangsa, dan konfederasi negara/kerajaan dengan negara Kerajaan Belanda.
Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784 M) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada 1 Muharam 1223 H, atau 1808 M, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Al-Qadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Qadriyah Pontianak II menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak 1811 M.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Al-Qadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak III. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 M dan Istana Qadriyah pada 1855 M. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan Pontianak dan kemudian wafat pada 1860 M.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Al-Qadrie (1855 M-1872 M), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak IV pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872 M, putra tertuanya, Syarif Yusuf Al-Qadrie (1872 M-1895 M) naik tahta sebagai Sultan Qadriyah Pontianak V beberapa bulan setelah ayahandanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih kuat berpegangan dan berurusan pada aturan agama, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam. Ia adalah ulama besar yang dimiliki Pontianak, yang diketahui sempat menulis kitab suci Al-Qur’an dengan tangannya sendiri.
Zaman pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Al-Qadrie (1895 M-1944 M) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak VI pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak.
Sultan Syarif Muhammad sangat berperan dalam mendorong terjadinya perubahan (modernisasi) di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah orang yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Telok Belange, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan.
Di sektor ekonomi, selain dengan negara Kerajaan Belanda, Sultan
Syarif Muhammad juga menjalin perdagangan dengan banyak negara atau
komunitas lain. Sebut saja Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak,
Banjarmasin, Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, serta India. Selain
itu, dia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta
mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa,
dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam
aspek politik, sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya
organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat
kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Di zaman pemerintahannya, Sultan Syarif Muhammad banyak berkunjung ke berbagai negeri. Pada Januari 1937, dia diundang ke negara Kerajaan Belanda dalam rangka pernikahan Ratu Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau dengan Bernhard zur Lippe Biesterfeld. Ratu Juliana adalah anak dari ratu Wilhelmina (ratu Kerajaan Belanda). Sultan Pontianak hadir bersama-sama dengan para sultan dari Kepulauan Melayu, seperti sultan Kutai, sultan Langkat, sultan Deli, sultan Ternate, dan sultan lainnya.
Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan Jepang ke Pontianak pada 1942. Hadirnya bala tentara fasis Jepang, yang menjadi rekan dari fasis Jerman dalam hasratnya menguasai Asia dan Eropa, menjadi petaka bagi Kesultanan Pontianak yang dekat dengan Belanda dan Inggris (lihat Membaca Ulang Pahlawan Kita).
Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan orang Pontianak. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, cerdik pandai (ilmuwan), dan tokoh masyarakat Pontianak, pun para sultan lain dan masyarakat lain di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan ‘Peristiwa Mandor’.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Al-Qadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu dia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945. Kelak, Hamid merupakan sultan terakhir dari dinasti Kesultanan Pontianak.
Berakhirnya kekuasaan Sultan Syarif Muhammad karena Peristiwa Mandor itu menciptakan kekosongan pada pemerintahan Pontianak. Dalam kewajibannya sebagai putra mahkota, pun atas permintaan rakyat, Hamid kembali ke Pontianak dan ditabalkan menjadi sultan Pontianak VII (1945-1978) pada 29 Oktober 1945. Dia bergelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Di bawah Sultan Hamid II ini pulalah Pontianak, dan Kalimantan Barat, bergabung dengan negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada negara baru itu, politisi ulung di Kepulauan Melayu ini juga dikenal sebagai presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950. Tak hanya itu, Hamid juga yang merancang lambang negara baru tersebut berupa gambar elang rajawali garuda pancasila. Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, BFO) pada 1949, yang berisikan sebagian dari negara-negara di Kepulauan Melayu, dia kelak juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie dan Peristiwa Mandor
68 tahun yang lalu (1944), Borneo Barat bersimbah darah oleh Jepang. Korban yang terbunuh mungkin dapat dikatakan sebagai yang paling besar persentasinya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada masa itu di daerah lain. Banyak data yang menyebutkan jumlah korban terbunuh mencapai angka puluhan ribu manusia.
Menurut pengakuan Kiyotada Takahashi, Presiden Marutaka House Kogyo Co. Ltd, yang dulu pernah bertugas sebagai salah seorang opsir bala tentara Jepang di Kalimantan Barat, jumlah korban tersebut mencapai angka 21.037 orang. Kemudian disampaikan pula dari kesaksian Yamamoto, seorang Kepala Kempeitai di Borneo Barat, bahwa jumlah korban mencapai angka sekitar 50 ribu orang. (Peristiwa Mandor Berdarah, 2009, Syafaruddin Usman).
Surat Kabar Borneo Sinbun di Pontianak, 1 Juli 1944, memberitakan tentang dihukum matinya 48 tokoh yang disebut-sebut sebagai kepala-kepala komplotan yang sedang mempersiapkan rencana untuk menggerakkan perlawanan bawah tanah terhadap pasukan Jepang yang ada di Borneo Barat. Mereka beserta yang lainnya ditembak mati pada 28 Juni 1944 dengan tidak disebutkan dimana hukuman mati itu dilaksanakan dan dimana jenazah para korban dimakamkan.
Pinggiran Kota Mandor, sebuah kota kecil di Kabupaten Pontianak kini, yang terletak 88 kilometer dari Kota Pontianak, belakangan diketahui sebagai salah satu tempat dimana sebagian korban dikubur secara massal. Saat ini, di daerah tersebut terdapat monumen sejarah yang dinamakan Makam Mandor, yang merupakan penanda terhadap aneksasi pasukan pendudukan Jepang dan menjadi saksi jatuhnya banyak korban di Borneo Barat, antara 1942-1945. Tanggal 28 Juni pun diperingati sebagai hari berkabung untuk seluruh masyarakat Borneo Barat.
Fakta tragis ini tak saja menunjukkan kebrutalan Jepang, tetapi juga
keberanian Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie dan para tokoh masyarakat,
meski kemudian harus berkalang tanah. Dia memperjuangkan marwah Borneo
Barat atas kedaulatan Federasi Borneo Barat, yang terdiri dari
kerajaan-kerajaan Melayu di Borneo Barat.
Untuk menemukan jenazah ayahnya, Sultan Hamid II menginterogasi sisa-sisa perwira Jepang yang masih berada di Pontianak dan juga memburu kesaksian-kesaksian masyarakat. Saat itu, konon, jenazah sang ayah masih terbungkus rapi di dalam tanah, pun dengan jasadnya. Jenazah sultan pun kemudian diangkat dan dimakamkan kembali dengan upacara kebesaran di pemakaman keluarga Kesultanan Qadriyah Pontianak di Batu Layang.
Pada 27 Rajjab, atau 17 Juni 2012 lalu, masyarakat pun melangsungkan haul atas wafatnya Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie di Istana Qadriyah Pontianak. Menjadi syuhada adalah pilihan hidup Sultan Pontianak ke-VI itu. Peringatan peristiwa berdarah itu diperingati dalam sebuah kedukaan yang mendalam.
Pontianak hari ini bukan lagi Negeri Pontianak berdaulat yang terbangun oleh tangan para wali/ulama dan atau para sultan. Pontianak hari ini telah menjadi daerah dari negara Indonesia, yang gagasannya berasal dan datang dari tanah seberang. Bahkan, kini Pontianak hanya disebut sebagai ‘luar Jawa’. Dahulu Pontianak tak kenal Indonesia. Namun, sekarang bendera Indonesia, merah putih, yang berbeda sedikit dari bendera Belanda, merah putih biru, berkibar di tanah khatulistiwa. Menerabas bendera bulan bintang (berwarna Kuning dan Hijau), bendera asli negeri Pontianak.
Meski demikian, tanggung jawab membuka tabir sejarah tidak menjadi tanggung jawab otoritas sentral pemerintah Indonesia. Ia menjadi tanggung jawab anak negeri Pontianak, yang seharusnya membuka kembali sejarah tanah dan lumpur darimana ia berasal. Sebab, sudah banyak luka di Pontianak yang dilakukan oleh orang-orang luar. Selain diserbu oleh pekerja-pekerja dari luar yang ditempatkan oleh penguasa, Sultan Hamid II juga telah dijatuhi hukuman melalui segala macam konspirasi politik dan hukum.
Rumah, Kampung Halaman, dan Tanah Air
28 Juni (1944-2012) diperingati sebagai hari berkabung Peristiwa Mandor untuk seluruh masyarakat Borneo Barat, termasuk Pontianak. Namun, ada yang paradoks di sini. Negara Indonesia menginstruksikan masyarakat Borneo Barat untuk mengibarkan bendera merah putih sebagai tanda peringatan di hari tersebut. Padahal, Pontianak dan Borneo Barat pada hari itu belum bergabung dan menjadi Indonesia. Kalimantan barat memiliki kedaulatannya sebagai negara yang tegak berdiri sendiri.
Namun demikian, hal yang sesederhana itu, tapi krusial, tak dipahami oleh sejumlah pihak saat ini. Padahal, yang patut berkibar adalah bendera-bendera kesultanan-kesultanan atau negara Kalimantan Barat. Tak ada konteks yang mengaitkan secara mendasar kejadian itu dengan Indonesia. Sebab, dulu Borneo Barat tak mengenal Indonesia, pun karena Indonesia juga memang belum ada.
Konstelasi politik pada akhir 1940-an menjadi tumpuan titik pertama dalam korelasi keduanya: Kalimantan Barat dan Indonesia. Kedaulatan sebuah negara dalam bentuk apapun patut ditilik legalitas aspek politik dan tentu “the rule of law”. Namun, itu sebuah esensi yang harus dicari hari ini. Jelas prosesi kedaulatan identitas itu menjadi penting untuk mengetahui bahwa siapa kita hari ini dan dari mana kita berasal. Cerita umum yang diketahui tentang darimana asal Pontianak, banyak yang mengetahui. Namun, validitas data hasil dari “riset” patut diperdebatkan.
Kesultanan Pontianak dikenal sebagai sekutu negara Kerajaan Belanda. Perspektif sepihak berpendapat bahwa itu artinya ‘bekerjasama dengan penjajah’. Gambaran itu menurut sejumlah pihak hari ini merupakan hal yang tidak nasionalis. Namun, perlu diperdebatakan kembali paradigma tak mendasar semacam itu. Kepentingan sebuah negara dalam membangun kerjasama dengan asing atau siapapun, tentu tak berarti melepas kedaulatan faksi dan strategi wilayah.
Tuduhan ‘bekerjasama dengan penjajah’ adalah sepihak dan artifisial, dan lebih mengarah propaganda atas sekelumit kepentingan. Pernyataan itu harus diperjelas berasal dari perspektif siapa. “Usul menunjukkan asal”, kata orang Melayu. Sebab, dalam ingatan Pontianak, hal itu hanya bisa diucapkan oleh bala tentara Jepang, dan sekutunya, yang memang amat memusuhi Belanda. Lain halnya dengan dahulu, dimana siapapun dapat bekerjasama dengan pihak manapun yang juga berdaulat, untuk kemajuan bangsa dalam semua aspek yang ditentukan.
1949-an adalah sebuah titik balik sejarah dalam perjalanan Pontianak – Borneo Barat yang berdaulat ketika ia bergabung dengan Indonesia. Akan tetapi, patut juga diluruskan narasi mengenai cara-cara masuknya Indonesia di tanah Pontianak dan Borneo Barat.
Hari itu, setelah Peristiwa Mandor Berdarah tahun 1944, Borneo Barat
kehilangan banyak kaum intelektualnya. Terbunuhnya para sultan,
dokter-dokter, guru-guru, para cerdik pandai (ilmuwan), ulama-ulama, dan
lainnya menyebabkan sistem pemerintahan Federasi Borneo Barat goyah
tanpa penopang. Setelah sekutu berhasil memukul mundur Jepang di
Kepulauan Melayu, Sultan Hamid II yang baru bebas dari tawanan Jepang
segera kembali ke Pontianak.
Ketika menjadi sultan Pontianak karena menggantikan ayahnya yang gugur, Hamid berusaha membenahi kekacauan yang ada. Dia mulai mengumpulkan para putra mahkota sultan di Borneo Barat, dan pada 1946 membentuk sebuah federasi negara bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sebagai Daerah Otonom (negara yang tegak berdiri sendiri) yang terdiri dari tiga belas negara kerajaan/kesultanan dan tiga neo negara kerajaan. Dia kemudian menjadi kepala daerah istimewa itu sejak 1947 sampai 1950.
Ikatan Federasi di Borneo Barat itu juga memiliki hubungan persemakmuran dengan negara Kerajaan Belanda. Hamid juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO), atau Perhimpunan Musyawarah Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara atau daerah-daerah otonom tetangga dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali. Perhimpunan ini lahir dalam Pertemuan Musyawarah Federal di Bandung pada 15-18 Juli 1948.
Di Perhimpunan Musyawarah Federal, Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat sekaligus Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal itu aktif dalam politik nasional Hindia Belanda. Ada gagasan lebih besar yang ingin diperjuangkannya, yaitu sebuah negara yang lebih besar dalam bentuk federal. Negara-negara yang ada kala itu di Kepulauan Melayu akan memperkuat basis persatuan ketika berada dalam sebuah bentuk negara baru.
Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Negara Pasundan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Banjar, Bangka, Belitung, Dayak Besar, dan banyak lainnya bertemu dalam momentum pembahasan persatuan bangsa. Tak ketinggalan negara Republik Indonesia yang basis negaranya berada di Yogyakarta.
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 meloloskan kepentingan para pemimpin negara-negara di Kepulauan Melayu ini. Ada dua pihak yang menyerahkan kedaulatannya pada negara baru bernama Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar itu, yakni negara Kerajaan Belanda dan negara Republik Indonesia-Yogyakarta.
Akan tetapi, setelah Repubik Indonesia Serikat berdiri, yang salah satunya ditandai dengan penyerahan pasukan dari negara-negara bagian kepada pasukan federal, negara Republik Indonesia-Yogyakarta melakukan perluasan diri. Negara-negara bagian lain dibubarkan dan dimasukkan ke dalam negara Republik Indonesia yang sebelumnya sederajat sebagai sesama negara bagian. Dan bentuk negara federalisme/persatuan pun dibubarkan dan diganti menjadi negara unitarisme/kesatuan. Dari negara Republik Indonesia Serikat menjadi negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam perspektif Pontianak, arogansi yang dianggap datang dari Yogyakarta ini sampai pula menerabas kedaulatan kekuasaan yang ada di Pontianak dan Borneo Barat. Pada 1950, Sultan Hamid II sebagai sultan yang sah dari Kesultanan Pontianak dan Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat Sultan Hamengkubuwono IX atas izin Jaksa Agung Tirtawinata. Tuduhannya adalah hendak melakukan makar, dimana alasan tersebut dapat ditilik sebagai suatu konspirasi negara (lihat Sultan Hamid II, Meneroka Akar Perkara Makar).
“Pembentukan negara nasional, apakah dari sisi sejarah merupakan perkembangan dari negara menjadi bangsa atau dari bangsa menjadi negara, dibebani dengan kerumitan berbagai proses dan kemelekatan berbeda. Sebagaimana diamati, salah satu konsekuensi dari kerumitan ini adalah banyak negara nasional berisikan kemelekatan regional yang dideklarasikan atau bahkan oleh bangsa lain. Sekali lagi, hubungan teritorial dari bangsa secara budaya hanya relatif seragam,” tulis Steven Crosby dalam bukunya Nationalism (2009).
Negara barangkali secara bebas didefinisikan sebagai struktur yang, melalui institusi, mengaplikasikan kedaulatan atas wilayah dengan menggunakan hukum yang menghubungkan para individu dan komunitas di dalam wilayah tersebut satu sama lain sebagai anggota negara. Namun, apakah Pontianak-Borneo Barat memiliki sejarah koneksitas dengan pulau Jawa/Yogyakarta sejak dulu dalam hubungan kedaulatan kewilayahan? Jelas tidak. Barangkali hanya dalam perdagangan, dan lainnya. Hubungan legal dan politik dari negara Pontianak dan Borneo Barat secara analitikal jelas berbeda dengan faksi yang lainnya.
Negara Pontianak – Borneo Barat dahulu jelas memiliki kedaulatan wilayah atau yurisdiksi. Sebab, penerapan kedaulatan negara melibatkan penyebarluasan hukum di seluruh wilayah yang dikendalikan tersebut, karenanya mengikutkan berbagai wilayah ke dalam regulasi hukum negara. Selain itu, keefektifan pemerintahan tergantung pada standarisasi komunikasi, bahasa dan tulisan di seluruh wilayah di bawah otoritas negara.
Lapisan dari banyak lapisan kesadaran diri ialah rumah, kampung halaman, dan tanah air. Pontianak, serta Borneo Barat, memiliki semua relasi itu. Dan hari ini kedaulatan tersebut diterabas oleh bentuk baru Indonesia: Indonesia yang unitaris.
Hari ini masjid itu bernama Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Itulah bangunan pertama di Pontianak. Letak masjid ini berdekatan dengan Istana Qadriyah, yang tak jauh dari simpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di sebelah utara negeri Pontianak, terdapat Tugu Khatulistiwa yang berada tepat di garis lintang nol derajat bumi, yang juga berdekatan dengan makam para wali dan atau sultan-sultan Pontianak.
Syarif Abdurrahman Al-Qadrie adalah anak dari seorang pendakwah asal negeri Trim di Hadramaut-Yaman Selatan yang bernama Habib Husein Al-Qadrie. Habib Husein Al-Qadrie dan ketiga kawannya menyebar dakwah Islam di Kepulauan Melayu. Konon, dia adalah keturunan dari ahlul bait, yaitu darah terdekat dari Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Hal tersebut dapat dilihat dari zuriyat (silsilah) yang terbukti, mulai dari pasangan Khalifah Ali bin Abu Thalib dan Fatimah (putri Nabi Muhammad) yang memiliki anak bernama Hasan dan Husein, dan kemudian turun ke Ali Zainal Abidin, anak dari Husein bin Ali bin Abu Thalib. Garis keturunan ini berlanjut hingga ke Habib Husein Al-Qadrie, Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, dan para keturunannya. Merekalah yang dikenal sebagai para wali.
Sejak Syarif Abdurrahman Al-Qadrie menemukan tanah khatulistiwa pada 1771 M, dia menjadikan tanah itu sebagai tempat pemukiman. Pada 1778 M, gelarnya sebagai Sultan ditabalkan di hadapan beberapa penguasa negeri di Kepulauan Melayu ini. Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau-Lingga, misalnya, pun turut hadir. Begitu juga pemimpin dari sejumlah kerajaan, termasuk Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, Banjar, dan lainnya.
Pada masa itu, negara Kerajaan Belanda, melalui Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Dagang Kerajaan Belanda untuk Hindia Timur, mencoba bekerjasama dengan kerajaan-kerajaan di Borneo Barat. Pada Juli 1779 M, perusahaan dagang itu mengirim Komisaris VOC, Willem Adriaan Palm, ke Pontianak untuk mendirikan perwakilan dagang dan bekerjasama dengan Kesultanan Pontianak dalam hal dagang, pemerintahan, modernisasi bangsa, dan konfederasi negara/kerajaan dengan negara Kerajaan Belanda.
Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784 M) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada 1 Muharam 1223 H, atau 1808 M, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Al-Qadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Qadriyah Pontianak II menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak 1811 M.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Al-Qadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak III. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 M dan Istana Qadriyah pada 1855 M. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan Pontianak dan kemudian wafat pada 1860 M.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Al-Qadrie (1855 M-1872 M), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak IV pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872 M, putra tertuanya, Syarif Yusuf Al-Qadrie (1872 M-1895 M) naik tahta sebagai Sultan Qadriyah Pontianak V beberapa bulan setelah ayahandanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih kuat berpegangan dan berurusan pada aturan agama, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam. Ia adalah ulama besar yang dimiliki Pontianak, yang diketahui sempat menulis kitab suci Al-Qur’an dengan tangannya sendiri.
Zaman pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Al-Qadrie (1895 M-1944 M) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak VI pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak.
Sultan Syarif Muhammad sangat berperan dalam mendorong terjadinya perubahan (modernisasi) di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah orang yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Telok Belange, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan.
Kiri:
Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman pada 1948. Foto: Dokumentasi
Nederlands Potomuseum, Kanan: Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak.
Foto: Dokumentasi Anshari Dimyati.
Di zaman pemerintahannya, Sultan Syarif Muhammad banyak berkunjung ke berbagai negeri. Pada Januari 1937, dia diundang ke negara Kerajaan Belanda dalam rangka pernikahan Ratu Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau dengan Bernhard zur Lippe Biesterfeld. Ratu Juliana adalah anak dari ratu Wilhelmina (ratu Kerajaan Belanda). Sultan Pontianak hadir bersama-sama dengan para sultan dari Kepulauan Melayu, seperti sultan Kutai, sultan Langkat, sultan Deli, sultan Ternate, dan sultan lainnya.
Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan Jepang ke Pontianak pada 1942. Hadirnya bala tentara fasis Jepang, yang menjadi rekan dari fasis Jerman dalam hasratnya menguasai Asia dan Eropa, menjadi petaka bagi Kesultanan Pontianak yang dekat dengan Belanda dan Inggris (lihat Membaca Ulang Pahlawan Kita).
Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan orang Pontianak. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, cerdik pandai (ilmuwan), dan tokoh masyarakat Pontianak, pun para sultan lain dan masyarakat lain di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan ‘Peristiwa Mandor’.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Al-Qadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu dia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945. Kelak, Hamid merupakan sultan terakhir dari dinasti Kesultanan Pontianak.
Berakhirnya kekuasaan Sultan Syarif Muhammad karena Peristiwa Mandor itu menciptakan kekosongan pada pemerintahan Pontianak. Dalam kewajibannya sebagai putra mahkota, pun atas permintaan rakyat, Hamid kembali ke Pontianak dan ditabalkan menjadi sultan Pontianak VII (1945-1978) pada 29 Oktober 1945. Dia bergelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Di bawah Sultan Hamid II ini pulalah Pontianak, dan Kalimantan Barat, bergabung dengan negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada negara baru itu, politisi ulung di Kepulauan Melayu ini juga dikenal sebagai presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950. Tak hanya itu, Hamid juga yang merancang lambang negara baru tersebut berupa gambar elang rajawali garuda pancasila. Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, BFO) pada 1949, yang berisikan sebagian dari negara-negara di Kepulauan Melayu, dia kelak juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie dan Peristiwa Mandor
68 tahun yang lalu (1944), Borneo Barat bersimbah darah oleh Jepang. Korban yang terbunuh mungkin dapat dikatakan sebagai yang paling besar persentasinya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada masa itu di daerah lain. Banyak data yang menyebutkan jumlah korban terbunuh mencapai angka puluhan ribu manusia.
Menurut pengakuan Kiyotada Takahashi, Presiden Marutaka House Kogyo Co. Ltd, yang dulu pernah bertugas sebagai salah seorang opsir bala tentara Jepang di Kalimantan Barat, jumlah korban tersebut mencapai angka 21.037 orang. Kemudian disampaikan pula dari kesaksian Yamamoto, seorang Kepala Kempeitai di Borneo Barat, bahwa jumlah korban mencapai angka sekitar 50 ribu orang. (Peristiwa Mandor Berdarah, 2009, Syafaruddin Usman).
Surat Kabar Borneo Sinbun di Pontianak, 1 Juli 1944, memberitakan tentang dihukum matinya 48 tokoh yang disebut-sebut sebagai kepala-kepala komplotan yang sedang mempersiapkan rencana untuk menggerakkan perlawanan bawah tanah terhadap pasukan Jepang yang ada di Borneo Barat. Mereka beserta yang lainnya ditembak mati pada 28 Juni 1944 dengan tidak disebutkan dimana hukuman mati itu dilaksanakan dan dimana jenazah para korban dimakamkan.
Pinggiran Kota Mandor, sebuah kota kecil di Kabupaten Pontianak kini, yang terletak 88 kilometer dari Kota Pontianak, belakangan diketahui sebagai salah satu tempat dimana sebagian korban dikubur secara massal. Saat ini, di daerah tersebut terdapat monumen sejarah yang dinamakan Makam Mandor, yang merupakan penanda terhadap aneksasi pasukan pendudukan Jepang dan menjadi saksi jatuhnya banyak korban di Borneo Barat, antara 1942-1945. Tanggal 28 Juni pun diperingati sebagai hari berkabung untuk seluruh masyarakat Borneo Barat.
Relief Peristiwa Mandor di Mandor, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Gambar: internet (banyak sumber).
Untuk menemukan jenazah ayahnya, Sultan Hamid II menginterogasi sisa-sisa perwira Jepang yang masih berada di Pontianak dan juga memburu kesaksian-kesaksian masyarakat. Saat itu, konon, jenazah sang ayah masih terbungkus rapi di dalam tanah, pun dengan jasadnya. Jenazah sultan pun kemudian diangkat dan dimakamkan kembali dengan upacara kebesaran di pemakaman keluarga Kesultanan Qadriyah Pontianak di Batu Layang.
Pada 27 Rajjab, atau 17 Juni 2012 lalu, masyarakat pun melangsungkan haul atas wafatnya Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie di Istana Qadriyah Pontianak. Menjadi syuhada adalah pilihan hidup Sultan Pontianak ke-VI itu. Peringatan peristiwa berdarah itu diperingati dalam sebuah kedukaan yang mendalam.
Pontianak hari ini bukan lagi Negeri Pontianak berdaulat yang terbangun oleh tangan para wali/ulama dan atau para sultan. Pontianak hari ini telah menjadi daerah dari negara Indonesia, yang gagasannya berasal dan datang dari tanah seberang. Bahkan, kini Pontianak hanya disebut sebagai ‘luar Jawa’. Dahulu Pontianak tak kenal Indonesia. Namun, sekarang bendera Indonesia, merah putih, yang berbeda sedikit dari bendera Belanda, merah putih biru, berkibar di tanah khatulistiwa. Menerabas bendera bulan bintang (berwarna Kuning dan Hijau), bendera asli negeri Pontianak.
Meski demikian, tanggung jawab membuka tabir sejarah tidak menjadi tanggung jawab otoritas sentral pemerintah Indonesia. Ia menjadi tanggung jawab anak negeri Pontianak, yang seharusnya membuka kembali sejarah tanah dan lumpur darimana ia berasal. Sebab, sudah banyak luka di Pontianak yang dilakukan oleh orang-orang luar. Selain diserbu oleh pekerja-pekerja dari luar yang ditempatkan oleh penguasa, Sultan Hamid II juga telah dijatuhi hukuman melalui segala macam konspirasi politik dan hukum.
Rumah, Kampung Halaman, dan Tanah Air
28 Juni (1944-2012) diperingati sebagai hari berkabung Peristiwa Mandor untuk seluruh masyarakat Borneo Barat, termasuk Pontianak. Namun, ada yang paradoks di sini. Negara Indonesia menginstruksikan masyarakat Borneo Barat untuk mengibarkan bendera merah putih sebagai tanda peringatan di hari tersebut. Padahal, Pontianak dan Borneo Barat pada hari itu belum bergabung dan menjadi Indonesia. Kalimantan barat memiliki kedaulatannya sebagai negara yang tegak berdiri sendiri.
Namun demikian, hal yang sesederhana itu, tapi krusial, tak dipahami oleh sejumlah pihak saat ini. Padahal, yang patut berkibar adalah bendera-bendera kesultanan-kesultanan atau negara Kalimantan Barat. Tak ada konteks yang mengaitkan secara mendasar kejadian itu dengan Indonesia. Sebab, dulu Borneo Barat tak mengenal Indonesia, pun karena Indonesia juga memang belum ada.
Konstelasi politik pada akhir 1940-an menjadi tumpuan titik pertama dalam korelasi keduanya: Kalimantan Barat dan Indonesia. Kedaulatan sebuah negara dalam bentuk apapun patut ditilik legalitas aspek politik dan tentu “the rule of law”. Namun, itu sebuah esensi yang harus dicari hari ini. Jelas prosesi kedaulatan identitas itu menjadi penting untuk mengetahui bahwa siapa kita hari ini dan dari mana kita berasal. Cerita umum yang diketahui tentang darimana asal Pontianak, banyak yang mengetahui. Namun, validitas data hasil dari “riset” patut diperdebatkan.
Kesultanan Pontianak dikenal sebagai sekutu negara Kerajaan Belanda. Perspektif sepihak berpendapat bahwa itu artinya ‘bekerjasama dengan penjajah’. Gambaran itu menurut sejumlah pihak hari ini merupakan hal yang tidak nasionalis. Namun, perlu diperdebatakan kembali paradigma tak mendasar semacam itu. Kepentingan sebuah negara dalam membangun kerjasama dengan asing atau siapapun, tentu tak berarti melepas kedaulatan faksi dan strategi wilayah.
Tuduhan ‘bekerjasama dengan penjajah’ adalah sepihak dan artifisial, dan lebih mengarah propaganda atas sekelumit kepentingan. Pernyataan itu harus diperjelas berasal dari perspektif siapa. “Usul menunjukkan asal”, kata orang Melayu. Sebab, dalam ingatan Pontianak, hal itu hanya bisa diucapkan oleh bala tentara Jepang, dan sekutunya, yang memang amat memusuhi Belanda. Lain halnya dengan dahulu, dimana siapapun dapat bekerjasama dengan pihak manapun yang juga berdaulat, untuk kemajuan bangsa dalam semua aspek yang ditentukan.
1949-an adalah sebuah titik balik sejarah dalam perjalanan Pontianak – Borneo Barat yang berdaulat ketika ia bergabung dengan Indonesia. Akan tetapi, patut juga diluruskan narasi mengenai cara-cara masuknya Indonesia di tanah Pontianak dan Borneo Barat.
1.
Lambang Kesultanan Pontianak rezim Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie/Sultan
Hamid II (sultan ke-7); 2. Lambang Kesultanan Pontianak rezim Sultan
Syarif Muhammad Al-Qadrie (sultan ke-6); 3. Bendera Kesultanan Pontianak
(Bentuk: bulan dan bintang. Warna: kuning dan hijau). Gambar:
Dokumentasi Istana Qadriyah, Kesultanan Pontianak.
Ketika menjadi sultan Pontianak karena menggantikan ayahnya yang gugur, Hamid berusaha membenahi kekacauan yang ada. Dia mulai mengumpulkan para putra mahkota sultan di Borneo Barat, dan pada 1946 membentuk sebuah federasi negara bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sebagai Daerah Otonom (negara yang tegak berdiri sendiri) yang terdiri dari tiga belas negara kerajaan/kesultanan dan tiga neo negara kerajaan. Dia kemudian menjadi kepala daerah istimewa itu sejak 1947 sampai 1950.
Ikatan Federasi di Borneo Barat itu juga memiliki hubungan persemakmuran dengan negara Kerajaan Belanda. Hamid juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO), atau Perhimpunan Musyawarah Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara atau daerah-daerah otonom tetangga dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali. Perhimpunan ini lahir dalam Pertemuan Musyawarah Federal di Bandung pada 15-18 Juli 1948.
Di Perhimpunan Musyawarah Federal, Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat sekaligus Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal itu aktif dalam politik nasional Hindia Belanda. Ada gagasan lebih besar yang ingin diperjuangkannya, yaitu sebuah negara yang lebih besar dalam bentuk federal. Negara-negara yang ada kala itu di Kepulauan Melayu akan memperkuat basis persatuan ketika berada dalam sebuah bentuk negara baru.
Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Negara Pasundan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Banjar, Bangka, Belitung, Dayak Besar, dan banyak lainnya bertemu dalam momentum pembahasan persatuan bangsa. Tak ketinggalan negara Republik Indonesia yang basis negaranya berada di Yogyakarta.
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 meloloskan kepentingan para pemimpin negara-negara di Kepulauan Melayu ini. Ada dua pihak yang menyerahkan kedaulatannya pada negara baru bernama Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar itu, yakni negara Kerajaan Belanda dan negara Republik Indonesia-Yogyakarta.
Akan tetapi, setelah Repubik Indonesia Serikat berdiri, yang salah satunya ditandai dengan penyerahan pasukan dari negara-negara bagian kepada pasukan federal, negara Republik Indonesia-Yogyakarta melakukan perluasan diri. Negara-negara bagian lain dibubarkan dan dimasukkan ke dalam negara Republik Indonesia yang sebelumnya sederajat sebagai sesama negara bagian. Dan bentuk negara federalisme/persatuan pun dibubarkan dan diganti menjadi negara unitarisme/kesatuan. Dari negara Republik Indonesia Serikat menjadi negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam perspektif Pontianak, arogansi yang dianggap datang dari Yogyakarta ini sampai pula menerabas kedaulatan kekuasaan yang ada di Pontianak dan Borneo Barat. Pada 1950, Sultan Hamid II sebagai sultan yang sah dari Kesultanan Pontianak dan Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat Sultan Hamengkubuwono IX atas izin Jaksa Agung Tirtawinata. Tuduhannya adalah hendak melakukan makar, dimana alasan tersebut dapat ditilik sebagai suatu konspirasi negara (lihat Sultan Hamid II, Meneroka Akar Perkara Makar).
“Pembentukan negara nasional, apakah dari sisi sejarah merupakan perkembangan dari negara menjadi bangsa atau dari bangsa menjadi negara, dibebani dengan kerumitan berbagai proses dan kemelekatan berbeda. Sebagaimana diamati, salah satu konsekuensi dari kerumitan ini adalah banyak negara nasional berisikan kemelekatan regional yang dideklarasikan atau bahkan oleh bangsa lain. Sekali lagi, hubungan teritorial dari bangsa secara budaya hanya relatif seragam,” tulis Steven Crosby dalam bukunya Nationalism (2009).
Negara barangkali secara bebas didefinisikan sebagai struktur yang, melalui institusi, mengaplikasikan kedaulatan atas wilayah dengan menggunakan hukum yang menghubungkan para individu dan komunitas di dalam wilayah tersebut satu sama lain sebagai anggota negara. Namun, apakah Pontianak-Borneo Barat memiliki sejarah koneksitas dengan pulau Jawa/Yogyakarta sejak dulu dalam hubungan kedaulatan kewilayahan? Jelas tidak. Barangkali hanya dalam perdagangan, dan lainnya. Hubungan legal dan politik dari negara Pontianak dan Borneo Barat secara analitikal jelas berbeda dengan faksi yang lainnya.
Negara Pontianak – Borneo Barat dahulu jelas memiliki kedaulatan wilayah atau yurisdiksi. Sebab, penerapan kedaulatan negara melibatkan penyebarluasan hukum di seluruh wilayah yang dikendalikan tersebut, karenanya mengikutkan berbagai wilayah ke dalam regulasi hukum negara. Selain itu, keefektifan pemerintahan tergantung pada standarisasi komunikasi, bahasa dan tulisan di seluruh wilayah di bawah otoritas negara.
Lapisan dari banyak lapisan kesadaran diri ialah rumah, kampung halaman, dan tanah air. Pontianak, serta Borneo Barat, memiliki semua relasi itu. Dan hari ini kedaulatan tersebut diterabas oleh bentuk baru Indonesia: Indonesia yang unitaris.